A Simple Sorry
“Aay, Mas Damar minta maaf dong...”
Entah sudah berapa kali Damar mengulangi ucapannya pada seorang anak kecil yang kini meringkuk di pojok sofa, menutupi seluruh wajahnya dengan bantal yang lebih besar dari setengah tinggi badannya ketika duduk.
“Ay,” panggil Damar lagi. Pemuda itu benar-benar sungguh-sungguh untuk mendapatkan maaf dari Aay. Damar bahkan duduk bersimpuh di lantai, fokus menggelitik telapak kaki Aay seraya sesekali mencomot jempol kecil gadis itu. Tidak kapok meski wajahnya sudah kena tendang akibat refleks Aay ketika kakinya digelitik. “Mas Damar minta maaf. Itu adek temennya Mas Damar, waktu itu cuma main sebentar aja, kok. Nggak sengaja ke-foto.”
“Tetep aja! Nggak ada Aay-nya!”
“Ya, Aay, kan waktu itu nggak ada di sana, Ay...”
“Iya, Mas Damar nggak ajakin Aay, kan? Mas Damar nggak sayang Aay!”
“Nggak gitu....”
Satu lagi helaan napas berat terdengar dari Damar. Pria itu kini hanya memandangi bantal abu-abu yang menghalangi pandangannya akan Mazaya. Damar menatap nanar, mengapa rasanya seperti bertengkar dengan kekasihnya sendiri? Hari itu Damar tahu, berapapun usianya, semua perempuan sama saja.
“Mazayaa~” panggil Damar lembut. “Mazayaa~” panggilnya sekali lagi. Tak ada jawaban, namun pemuda itu tak menyerah. Toh, ia pernah memperjuangkan Aghni hingga keduanya kembali bersama, kan? Aay juga harusnya bisa ia perjuangkan.
“Aay marah ya? Aay nggak suka Mas Damar deket-deket Hau—” Damar terpaksa menggantung ucapannya lantaran Aay secara spontan menurunkan bantal yang menutupi wajahnya. Kedua matanya menatap Damar tajam, seakan-akan pedang yang siap menghunus Damar kapan saja. Maka Damar langsung mengerti, ia mengurungkan niatnya mengucap nama Haura secara lengkap. “Iyaa, nggak disebut. Aay nggak suka Mas Damar deket-deket dia?”
“Kenapa?”
“Ya, Aay sedih, lah! Mas Damar kan mas-nya Aay, masa mainnya sama yang lain? Mas Damar ketawa-ketawa sama dia, tapi Mas Damar mau buang Aay pake kapal laut—”
“Sekarang enggak, tuh? Mas Damar udah nggak mau buang Aay pake kapal laut, kan kita udah janjian!”
“Bohong! Mas Damar lebih sayang dia, kan? Mas Damar nggak sayang Aay—”
“Enggak, ih, kenapa Aay mikirnya begitu?” tanya Damar, “waktu di foto itu Mas Damar ketawa karena lagi ngetawain temen Mas Damar. Dia mau lompat—eh, keserimpet sendiri karena talinya kependekan. Itu yang lagi lompat kakaknya dia, makanya dia sama Mas Damar dulu. Gitu, Ay. Lagian, emang kata siapa Mas Damar nggak sayang Aay? Sayang banget tau!”
“Kata Mama, kalo puasa nggak boleh bohong.”
Sabar, Damar, sabar. Tunggu tujuh kali lagi dia begini, baru kita lempar ke Laut Mati, batin Damar. Namun, pemuda itu masih belum menyerah. “Ay,” panggilnya, “Mas Damar nanya tadi belum dijawab. Ada yang bilang Mas Damar nggak sayang Aay?”
Gadis itu hanya diam. Memilih untuk memainkan ujung gaunnya, beralih pada kuku-kuku mungilnya yang baru dipotong Damar tadi pagi. “Tadi pagi pas Aay sampe sini, Mas Damar yang bilang gitu.”
“Kapan? Enggak!”
Bantal abu-abu itu akhirnya membuka persembunyian Aay. Nampak wajah mungil yang mengkerut lucu, “IYA! TADI AAY BANGUNIN MAS DAMAR, MAS DAMAR MARAH-MARAH!”
“Ya, Aay, sih! Banguninnya lompat ke perut Mas Damar gitu. Kan, Mas Damar kaget jadinya!”
“Ihhh, terus Aay bangunin pelan-pelan juga Mas Damar marah-marah tadi!”
“Nggak maraaah, Aaay, cantik, manis, baik, pinterrrr,” pungkas Damar. Nada bicaranya melembut sekarang, kontradiksi dengan kepalanya yang sudah mengebul menahan emosi.
Kini telunjuk kecil Mazaya menuding Damar tepat di batang hidungnya, “Itu matanya Mas Damar dari tadi kayak gitu kalo liat Aay!”
“Gitu gimana?”
“Muter-muter!”
“Astaga...” Damar resmi hilang akal. Well, maafkan ekspresi wajahnya yang kadang benar-benar garang ketika mengantuk. Tapi, ia sama sekali tidak pernah bermaksud memandang Aay dengan mata muter-muter seperti yang Aay bilang.
“Ya udah, gini, deh. Mas Damar harus apa, nih, biar Aay maafin Mas Damar? Aay maunya gimana?”
Hening. Aay sibuk memilin ujung gaunnya sendiri dan memilih untuk mengabaikan Damar dengan pertanyaannya. Sekali lagi Damar menggelitik telapak kaki Aay, membuat gadis itu sontak menarik kakinya sendiri. Ada sedikit gelak yang nyaris lolos dari pertahanan Aay dan Damar berhasil menangkapnya. Keduanya bahkan nyaris bertukar senyum kalau-kalau Aay tidak segera ingat bahwa ia sedang marah.
“Ay,” panggil Damar. Gadis itu mendongak sebagai respons. “Mau jalan-jalan nggak? Ngabuburit, bentar lagi Aay buka puasa, nih. Sekalian cari makanan buat Aay makan.”
Aay masih diam, matanya itu menerawang ke atap mencari jawaban. Telunjuknya diketukkan di dagu, dan kini kakinya disilangkan. Damar tahu ini akan berlangsung lama, maka pria itu menanyakan Aay sekali lagi. “Ayo, mau nggak?”
Suara Damar yang kembali terdengar membuat arah pandang Aay kini terfokus pada sosok pemuda itu. “Nggak mau.”
“Kenapa?”
“Rambutnya Mas Damar BAUK!”