A Hold Of A Hand

Adelia melirik jam tangan hitam yang melingkari lengan kirinya seraya mengeluh. Tangan kanannya otomatis menggaruk kepalanya yang tak gatal, membuat kunciran rambutnya yang sudah tak karuan itu kian berantakan. Pukul setengah sembilan malam, dan bimbelnya baru saja usai. Seringkali terpikir di benaknya, adakah jaminan untuk hari yang cerah setelah lulus SMA untuk membayar kerja kerasnya ini? Adelia bahkan tidak tahu apakah dirinya bekerja keras, materi saja tidak ada yang masuk ke otak. Entahlah, mungkin sebagian orang melakukan rutinitas seperti ini hanya untuk menyenangkan orang tua. Dan Adel adalah salah satunya.

Gadis itu menghela napasnya untuk kesekian kali. Ponselnya menampilkan pemberitahuan baterai rendah, penampilannya berantakan, matanya mengantuk, dan perutnya keroncongan. Satu tujuannya, pulang. Satu juga permasalahannya, Adel tidak membawa kendaraan sendiri. Kakinya menendang kerikil kecil untuk melampiaskan sedikit frustrasinya. Tangannya tergerak membuka aplikasi ojol untuk memesan kendaraan pulang, namun gerakannya terhenti kala sebuah suara mengejutkannya.

Kepalanya terdongak, matanya yang sudah mengantuk mendadak kembali cerah seiring muncul sosok menawan di hadapannya. “Balik masapa? Dijemput nggak?”

“Ini mau pesen,” jawab Adel singkat.

“Bareng gue aja mau nggak?” tanya Dhimas, pemuda yang membuat wajah Adel sumringah itu.

“Yang serius lu?”

“Iya, gue sekalian mau ke Haris. Tadi gue lupa tanda tangan proposal proker dia,” balas Dhimas lagi. Wajahnya serius, namun Adel tak pernah berhenti gemas. Rasanya memanggilnya mochi man adalah sebuah keputusan tepat.

“Ya udah,” ucap Adel disertai anggukan. Tumpangan aman, Adel memasukkan ponselnya ke dalam saku. Tidak jadi memesan ojol sebagaimana niatnya sebelumnya. Gadis itu baru saja hendak membututi Dhimas menuju parkiran. Namun pria dengan ransel hitam dan jaket abu-abu bergaris putih itu menahan langkahnya. “Tunggu sini aja, nanti gue yang ke sini.”

“Oke.”

“Jangan sendirian nunggunya, Deli! Sanaan dikit, noh, deket komplotannya Aduy. Nanti gue balik lagi, nanti gue klakson tiga kali,” ujar Dhimas halus. Ucapannya selesai, namun pria itu tak bergerak dari tempatnya. Alias Dhimas masih memandangi Adel, bermaksud mengawasi gadis itu hingga ia berada di tempat aman. Namun, alih-alih bergerak ke tempat yang Dhimas maksudkan, Adel justru terdiam seraya menatap Dhimas dengan tatapan bingung.

Sekon berikutnya gadis itu gelagapan, tersadar bahwa Dhimas bukan memperhatikannya. Melainkan pemuda itu menunggunya beranjak. “Oh, lu nungguin gue ke sana, ya?”

Sebuah kekehan halus meluncur dari bibir Dhimas. “Iya, Deliiii.”

“Oke.”

krruukkk krruuukk

Belum ada satu langkah kakinya bergerak, Adel sudah harus menahan malu untuk kesekian kalinya di hadapan seorang Dhimas Wijaya. Seketika gadis itu memegangi perutnya yang dengan sangat tidak tahu malunya, berbunyi pada saat yang tidak tepat. Kedua mata Adel membulat, sementara Dhimas memandang ke arahnya terkejut. Sekilas, Adelia menangkap seulas senyum simpul yang manis. Pasti pemuda itu berniat mengejeknya setelah ini.

Dhimas memalingkan wajah untuk sesaat. Sekon berikutnya pemuda itu kembali menatap Adel dan kembali bersuara. “Del, jawab cepat. Kalo nggak jawab gue sentil!” ucapnya, sebelah tangan Dhimas bahkan sudah stand by di depan kening Adel. Bersiap menyentil dahinya, membuat gadis itu terperangah sekaligus ketakutan.

“Lo suka makan apa?” tanya Dhimas lagi.

“Hah? A-ayam geprek!” jawab Adel spontan. Gadis itu baru bisa menghela napas lega ketika Dhimas tersenyum puas seraya menurunkan 'senjata'-nya yang hampir ditembakkan ke kening Adel.

“Waktu itu lo ulang tahun, gue nggak sempet bawain kado. Haris bilangnya dadakan, sih! Hari ini aja gue kadoin ayam geprek, mau nggak?” tawar Dhimas. What a smooth move.

“Hah?”

Demi Tuhan. Adelia hanya terlatih menghadapi lelaki yang suka bicara kasar, senang menghinanya di depan umum, dan mempermalukan dirinya. Menghadapi Dhimas rasanya seperti sedang menghadapi ujian dadakan yang materinya sama sekali tidak Adel ketahui. Gadis itu akan selalu kikuk dan tergagap.

“Mau nggak?” tawar Dhimas lagi, kali ini dengan sebelah alis yang terangkat serta binar mata yang menyorot tepat ke arah dua bola mata Adel.

Gadis itu mendadak salah tingkah. Kedua pipinya berkhianat, mengembang tanpa diperintah. Sebelah tangannya refleks membenahi helaian rambut yang terlepas dari kunciran, menyelipkannya ke balik telinga. Adel terkekeh setelahnya. Sekon berikutnya gadis itu pun menjawab, “Boleh...”

Dhimas sekali lagi mengangguk pelan. “Tunggu situ ya, Deli. Nanti gue ke sana.”

“Baik, Kakanda. Adinda tunggu di sana, ya!”

PFFFTT! DEL, JANGAN LU BAWA-BAWA SEBUTAN ITU KE DUNIA LAIN!” seru Dhimas, “biar itu kita aja yang tau.”

“MONYET! AMBIL SONO MOTOR LU!!”


Keduanya berhenti di seberang restoran ayam geprek terdekat yang bisa Dhimas temui. Kondisi yang sangat ramai untuk ukuran restoran pinggir jalan pada jam semalam ini. Hingga membuat Dhimas harus memarkirkan motornya di minimarket seberang jalan. Maklum, mungkin karena ini restoran milik artis ternama. Sejujurnya Dhimas tidak terlalu suka ayam geprek, makan pedas saja tidak sanggup. Namun entah dorongan apa yang membuatnya rela berkorban untuk makan ayam geprek demi mengenyangkan perut seorang Adelia.

Dhimas meletakkan helmnya di kaca spion, tentu saja tak lupa merapikan sedikit rambutnya agar penampilannya tetap paripurna. Sekon berikutnya pemuda itu mengalihkan tatapannya ke arah seorang gadis bermata tajam. Entah emosi karena sudah terlalu lapar, atau otaknya memang sudah terlalu ngebul berpikir keras, Adel terlihat kesal ketika pengait helm Dhimas tak bisa terbuka. Lagi-lagi Dhimas terkikik geli, Adelia dan sejuta kelakuan ajaibnya memang tak pernah gagal memantik tawa dalam diri Dhimas.

“Sini, gue bantuin.”

“Bisa, kok!”

“Bener, bisa?”

“Bisa! Lu ngeremehin gue!?”

“Nggak ngeremehin, nanya.”

“KARATAN, NIHHH, PENGAIT HELMNYA!” ejek Adel. “Nggak karatan, Deli. Bukan begitu bukanya, sini makanya gue bantuin.”

“GUE BISA, DHIM!” Adel bersikeras. Dhimas memilih untuk mengangguk pasrah. Sekon berikutnya ia memilih untuk bertolak pinggang seraya sebelah tangannya bertumpu pada speedometer, memperhatikan Adel yang masih berusaha sendiri.

“Ini nggak bisa langsung gue buka aja, kah?” racau Adel. “Gimana, sih, Dhim?”

Demi mengefisiensikan waktu, Dhimas beranjak maju. Kedua tangannya meraih kepala Adel yang tertutup helm. Gadis itu berusaha mengelak, masih tidak ingin dibantu. Namun, Dhimas tetap memaksa Adel untuk diam.

“Diem, nanti makin lama lo makan. Lama-lama perut lo pentas gambang kromong.”

Alhasil Adel hanya bisa diam dan menurut. Cih, strong independent woman! Diketawain lu sama upil-upil di kolong meja lu! batin Adel.

Sebisa mungkin Adel menghindari menatap wajah Dhimas yang tak jauh darinya. Supaya jantungnya tidak berhenti sebelum waktunya, supaya—tidak ada lagi anggota keluarga atau teman dekatnya yang harus menanggung malu akibat kelakuan ajaibnya yang muncul ketika salah tingkah.

Klik! Secepat kilat dan semudah membalikkan telapak tangan, Dhimas berhasil membukakan helm yang dikenakan Adel. Pemuda itu lalu menyimpannya dengan rapi di dalam jok motor. “Bisa, kan? Kagak karatan, Del. Makanya apa-apa, tuh, pelan-pelan!” cibir Dhimas.

“Pilih kasih itu, helm-nya!”

“Alesan!” cibir Dhimas lagi.

Adel hanya mengerucutkan bibir. Sekon berikutnya gadis itu berbalik badan dan berjalan mendahului Dhimas. “Ayo!” seru Adel. Gadis itu nyaris melangkahkan kakinya membelah jalan raya yang sibuk, hingga sebuah motor dengan kecepatan tinggi membunyikan klakson yang mengejutkan Adel.

TIN! TIN!

“DELI!”

Ah, si ceroboh dan tukang grasak-grusuk ini memang tak pernah berpikir panjang. Terlampau salah tingkah, Adel bahkan sampai lupa untuk tengok kanan-kiri sebelum menyebrang. Beruntung Dhimas sempat menarik lengannya sebelum tubuh ringkihnya itu terserempet motor.

“Pelan-pelan, Deli!” ucap Dhimas. Napas pemuda itu sama tesenggalnya dengan milik Adel. Matanya menatap lurus pada milik Adel, namun kali ini lebih tajam disertai raut khawatir yang tercetak jelas. “Orang gila lu ya!? Kanan-kiri motor-mobil pada kenceng gitu maen nyebrang-nyebrang aja! Tunggu!” omel Dhimas.

Adel hanya diam. Bibirnya tertutup rapat, namun matanya tak lepas dari wajah Dhimas yang masih sedikit khawatir namun tetap fokus melirik kanan-kiri. Menunggu waktu yang tepat untuk menyebrangi jalan. Jangan lupakan tangan pemuda itu yang masih menggenggam erat lengan Adel, menjaganya seakan takut gadis itu akan kabur. Dan ketika situasi jalan sudah mulai sepi, Dhimas mengulurkan tangan kanannya guna mengisyaratkan pengendara motor lain untuk memberinya kesempatan menyebrang.

Sementara itu, entah akal sehatnya turut andil atau tidak, tangan kirinya melepaskan cengkeramannya pada lengan Adelia. Beralih menautkan jemarinya pada milik Adel yang mendadak dingin. Gadis itu bahkan sampai menelan ludah, matanya bahkan tak memandang ke depan kala melangkah. Melainkan pada tangannya yang digenggam erat oleh pemuda impiannya.

Diam-diam Adel hanya merapal doa dalam hati, agar telapak tangannya tak mendadak berkeringat. Pun, agar detak jantungnya yang berdentum keras itu tidak sampai pada telinga Dhimas.

Little did she know, Dhimas pun merapalkan doa yang sama.